EmitenNews.com—Produksi PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) yang mencapai 3,37 juta ton pada FY22 setara dengan kenaikan 47% dari 2,30 juta ton pada FY21. 

 

“Volume produksi ini melampaui panduan yang berkisar 2,8 ton sampai 3,3 juta ton. Volume penjualan batu bara FY22 tercatat 3,20 juta ton, atau naik 39% dari 2,30 juta ton pada FY21,” tulis manajemen ADMR dalam laporannya kepada BEI, yang dikutip Kamis (16/2/2023).

 

Untuk tahun 2023 ini, perseroan menargetkan Volume penjualanada i 3,8-4,3 juta ton. ADMR akan meningkatkan volume penjualannya, didukung oleh kuatnya permintaan pelanggan, sesuai dengan target jangka menengah sebesar 6 juta ton per tahun.

 

Nisbah kupas: 3,8x. ADMR memperkirakan peningkatan nisbah kupas di FY23 karena kegiatan penambangan di PT Lahai Coal akan dimulai kembali. PT Lahai Coal memiliki nisbah kupas yang lebih tinggi dari PT Maruwai Coal. 

 

Belanja modal atau capex sendiri disiapkan sebesar USD70 – 90 juta untuk segmen batubara metalurgi. Anggaran belanja modal ini belum termasuk belanja modal untuk smelter aluminium. Perusahaan memperkirakan pencapaian financial close proyek ini pada 1H23 dan akan membuat pengumuman lebih lanjut mengenai porsi ekuitas di kemudian hari. 

 

ADMR akan memimpin transformasi bisnis Grup Adaro. Pada FY22, ADMR mencatat beberapa peristiwa penting, misalnya penandatanganan Nota Kesepahaman dengan Hyundai Motor Company untuk produksi dan suplai aluminium, dan penandatanganan Perjanjian Penyertaan Saham Bersyarat, melalui perusahaan anak, untuk proyek smelter aluminium.

 

Ketidakselarasan antara harga batu bara ekspor Australia dan batu bara impor China terus berlanjut dengan harga FOB Premium Hard Coking Coal Australia (“FOB PHCC Australia”) naik sekitar 10% q-o-q sementara CFR Premium Hard Coking Coal China (“CFR PHCC China”) turun lebih dari 3% q-o-q. Ekspor Australia menghadapi tantangan gangguan suplai, yang menopang harga walaupun permintaan dari Eropa, Asia Tenggara dan Asia Timur (kecuali China) rendah. 

 

Tingginya biaya energi dan rendahnya permintaan baja merupakan faktor utama yang mendorong para produsen baja di wilayah ini menurunkan tingkat utilisasi blast furnace (tanur tiup). Sebaliknya, PMI manufaktur India menunjukkan penutupan positif pada tahun 2022, yang menunjukkan resiliensi di tengah kondisi ekonomi yang sulit di wilayah lainnya. 

 

Permintaan domestik terhadap baja di India stabil namun permintaan terhadap impor batu bara metalurgi bergantung pada ketersediaan batu bara kokas impor yang berharga murah. Sisi suplai merupakan faktor pendukung utama kenaikan FOB PHCC Australia karena kondisi cuaca berhujan dan kelangkaan pekerja mendorong penurunan suplai Australia di sepanjang 4Q22. Harga rata-rata FOB PHCC Australia mencapai sekitar AS$278/ton pada kuartal terakhir tahun 2022.